Kegagalan tersebut menimbulkan situasi yang tidak pasti untuk keberlangsungan Freeport Sulphur. Forbes Wilson yang menjabat sebagai Direktur Freeport Sulphur ketika itu berusaha mencari jalan keluar dari situasi ketidakpastian tersebut. Pada Agustus 1959, beliau melakukan pertemuan dengan direktur operasional East Borneo Company yaitu Jan Van Gruisen. Dalam pertemuan tersebut Gruisen menceritakan penemuan besarnya tentang kekayaan alam Irian Barat yang merupakan hasil dari penelitian Jacques Dozy di tahun 1936. Yang anehnya, hasil penelitian tersebut tidak diketahui oleh pemimpin Indonesia ketika itu, secara otomatis hasil dari penelitian tersebut belum dikelola oleh Indonesia.
Mendengar hal tersebut, Wilson sangat antusias untuk melakukan penelitian ulang di Irian Barat untuk memastikan kebenaran hasil penelitian Jacques Dozy. Begitu besar harapan Wilson hasil dari penelitian ini menjadi titik terang untuk perusahaannya agar bisa bangkit kembali dari kebangkrutan yang tinggal selangkah lagi didepan. Wilson bersama timnya akhirnya berangkat ke Irian Barat guna melakukan penelitian dan survey di Gunung Ersberg (gunung tembaga) dan juga wilayah sekitarnya. Penelitian tersebut tertuang dalam bukunya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain. Wilson menyebut Gunung Ersberg sebagai harta karun terbesar karena tidak perlu menyelam untuk mendapatkannya, harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Tidak hanya biji tembaga yang ia temukan, gunung tersebut ternyata dipenuhi biji emas dan perak. Maka dari itu Wilson mengatakan, seharusnya gunung tersebut diberi nama Gold Mountain, bukan Gunung Tembaga. Karena penemuan besarnya tersebut, wilson memperkirakan Freeport akan untung besar dan akan menutup kerugiannya di Kuba apabila perusahaannya dapat mengelola pertambangan di gunung ini. Dengan langkah yang sangat cepat wilson pun meneken kerjasama dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut pada 1 Februari 1960.
Namun akibat dari hubungan Indonesia dan Belanda memanas sehingga eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah bergejolak yang membuat Soekarno menerjunkan pasukannya di Irian Barat. Hal inilah yang membuat Freeport harus menelan pil pahit karena terkendala dalam masalah izin mengelola pertambangan di daerah operasi militer. Wilson pun terdorong meminta bantuan kepada Presiden AS J.F Kennedy untuk mendinginkan Irian Barat. Tapi sayangnya, JFK malah pro Soekarno. Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan Marshall Plan jika tetap mempertahankan Irian Barat dalam kekuasannya. Belanda akhirnya terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat karena saat itu Belanda memerlukan bantuan dana untuk membangun kembali negerinya dari dampak Perang Dunia II. Sayangnya Belanda tidak tahu jika Gunung Ersberg mengandung banyak emas yang nilainya melebihi bantuan Marshall Plan yang diberikan AS. Kemunduran Belanda ini berdampak buruk terhadap kerjasama East Borneo Company dengan Freeport, sehingga membuat pemimpin Freeport marah besar ditambah lagi ketika mendengar JFK menyiapkan paket bantuan ekonomi kepada Indonesia sebesar 11 Juta AS dengan melibatkan IMF dan Bank Dunia.
Tetapi sayangnya rencana JFK tersebut berubah drastis ketika Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Unik bukan, banyak kalangan yang mengatakan penembakan Kennedy merupakan konspirasi besar menyangkut kepentingan kelompok tertentu untuk mengambil alih kebijakan politik di Amerika. Segalanya berubah seratus delapan puluh derajat ketika Presiden Johnson menggantikan Kennedy. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia, kecuali kepada militernya. Secara otomatis, kebijakan ini sangat berpihak kepada Freeport. Nah, kenapa seperti itu? ya karena dibalik keberhasilan Johnson dalam memenangkan pemilihan Presiden AS tahun 1964 ada campur tangan Augustus C. Long yang merupakan salah satu anggota dewan direksi Freeport. Augustus C. Long memang memiliki kepentingan besar atas Indonesia. Ia juga memimpin Texaco, yang membawahi Caltex yang merupakan hasil kerjasama dengan Standard Oil of California milik Rockefeller Family.
Augustus C. Long |
Dengan jabatan vitalnya tersebut, Long memiliki pengaruh yang sangat besar untuk menentukan operasi rahasia AS di negara-negara tertentu. Bukan tidak mungkin Long merupakan salah satu tokoh yang merancang Soekarno lengser. Kenapa Soekarno ingin dilengserkan?
Dr.Asvi Marwan Adam yang merupakan pengamat sejarawan dari LIPI mengatakan Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indoensia dikelola oleh anak bangsa sendiri. Sebuah arsip Kedubes AS di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Tiba-tiba Soeharto datang dengan menumpang sebuah helikopter asing. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu.
"Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkannya seperti itu," kata Asvi.
Ntah siapa yang berada dibelakang Soeharto ketika itu, sehingga berani menyatakan pernyataan seperti itu. Berbagai penolakan terhadap perusahaan asing yang ingin mengelola aset di Indonesia terus saja terjadi. Soekarno begitu keras mempertahankan aset Indonesia agar dikelola oleh anak bangsa sendiri pada waktunya nanti. Sebelum tahun 1965, seorang taipan dari AS menemui Soekarno untuk menawarkan investasi di Papua. Namun Soekarno tetap menolaknya secara halus, ujar Asvi. Soekarno memiliki rencana 20 tahun lagi modal asing diizinkan masuk Indonesia, setelah putra putri bangsa Indonesia siap mengelolanya. Maka dari itu, Soekarno mempersiapkan putra-putri Indonesia serta mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara maju. Memang Soekarno sukses ketika itu membuat tembok penghalang untuk asing dan mempersiapkan calon pengelola negara. Tetapi menurut Asvi, pihak luar yang bernafsu ingin melengserkan kekuasaan Soekarno tidak kalah kuat.
Dubes AS bertemu Soeharto sebulan sebelum G30/S-PKI |
Mantan pejabat CIA Ralph Mc Gehee juga pernah bersaksi bahwa semua rencana tersebut benar adanya. PKI sengaja dijadikan kembing hitam sebagai tersangka pembunuhan 7 Dewan Jenderal yang pro Soekarno melalui G-30/S-PKI atau Gestapu (Gerakan Tiga Puluh) September oleh pro Soekarno. Setelah peristiwa tersebut, keadaan negara berubah total. Terjadi kudeta yang direncanakan dengan memplesetkan dan mengubah isi Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966. Dalam Supersemar sebenarnya Soekarno hanya memberi mandat untuk mengatasi keadaan darurat negara kepada Soeharto, bukan justru menjadikannya sebagai seorang presiden.
Pergantian kekuasaan di Indonesia memberikan titik terang untuk Freeport. Dalam artikel yang berjudul JFK, Indonesia, CIA, and Freeport yang diterbitkan majalah Probe edisi Maret- April 1996, Lisa Pease menulis bahwa akhirnya pada awal November 1965, berselang sebulan dari tragedi terbunuhnya sejumlah perwira loyalis Soekarno, Forbes Wilson mendapat telfon dari Langbourne Williams yang ketika itu menjabat sebagai Ketua Dewan Direktur Freeport. Beliau menanyakan Freeport sudah siap untuk mengekplorasi gunung emasi di Irian Barat?
Pertanyaan tersebut sontak membuat Forbes terkejut. Dengan sikap Soekarno yang sangat keras dan tertutup sudah terkenal di dalam dunia para elite-elite dan kartel-kartel pertambangan dan minyak dunia, tidak mungkin rasanya Freeport mendapatkan izin karena Soekarno masih berkuasa dan masih sah sebagai Presiden Indonesia, lalu darimana williams optimis gunung di Irian barat tersebut akan dikelola Freeport?
Lisa Pease menjawab pertanyaan tersebut. Menurut Lisa para petinggi Freeport ternyata sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elite Indonesia, sehingga rencana mereka berjalan mulus hingga sekarang. Beberapa elite Indonesia yang dimaksud pada era itu diantaranya adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan pada saat itu Ibnu Soetowo. Tetapi pada saat penandatangan kontrak dengan Freeport, bukan Ibnu Soetowo yang melaksanakannya, tetapi Ir. Slamet Bratanata yang merupakan Menteri Pertambangan Indonesia yang menggantikan Ibnu Soetowo. Hubungan Ibnu Soetowo dengan Freeport dihubungkan oleh Julius Tahija yang merupakan seorang Bisnisman sekaligus makelar untuk perusahaan-perusahaan asing. Dalam bisnisnya Julius Tahija menjadi pelopor keterlibatan pengusaha lokal dalam perusahaan multinasional lainnya, antara lain terlibat dalam PT. Faroka, PT. Procter & Gambler, PT. Filma, PT. Samudera Indonesia, Bank Niaga, dan Freeport Indonesia. Selain itu, pengaruh Ibnu Soetowo tidak bisa dipandang sebelah mata, beliau sangat berpengaruh di dalam angkatan darat, karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.
Pengesahan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada tahun 1967 yaitu UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang draftnya dirancang di Jenewa-Swiss didektekan oleh Rockefeller. Akibatnya, membuka gerbang yang sebesar-besarnya untuk investor asing untuk masuk ke ranah perekonomian Indonesia. Imbasnya, Freeport dengan mudahnya melakukan eksplorasi besar-besaran di tanah Irian barat dan menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Soeharto. Bahkan sejak detik itu, Indonesia menjadi negara yang sangat tergantung terhadap Amerika, hingga kini, dan mungkin untuk selamanya.
Jumat, 7 April 1967 Perusahaan Freeport Sulphur of Delaware menandatangani kontrak kerja dengan pemerintah Indonesia untuk penambangan tembaga di Papua Barat. Freeport menginvestasikan 75 hingga 100 Juta Dolas AS untuk proyek tersebut. Berawal dari perjanjian kontrak tersebutlah, lahir Freeport Indonesia yang sebagai Presidennya Forbes K. Wilson. Freeport Indonesia mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 Hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Dari penandatangan kontrak inilah yang menjadi acuan dalam penyusunan Undang-Undang Pertambangan No 11 Tahun 1967 yang disahkan Desember 1967. Penandatanganan kontrak Freeport mendorong perusahaan asing lainnya untuk mengekplorasi Pulau Irian Barat, diikuti dengan penandatanganan kontrak eksplorasi nikel di Area Waigee Sentani oleh PT Pacific Nickel Indonesia dan Kementerian Pertambangan Republik Indonesia pada 19 Februari 1969. Tetapi, ketika kita melihat perjanjian kontrak kedua perusahaan pertambangan diatas, kita akan menemukan keganjilan. Apakah benar Freeport hanya menambang tembaga?dan Apakah benar Pacifik Nickel benar menanambang Nikel? Sudah tidak menjadi rahasia lagi dizaman modern saat ini. Freeport tidak hanya menambang tembaga tetapi menambang emas, dan Pacifik Nickel tidak benar-benar hanya menambang nikel tetapi menambang perak.
Semua perjanjian pengeksploitasian tambang-tambang di Bumi Indonesia kenyataannya dilakukan secara tidak wajar, tidak adil dan penuh dengan kebohongan dan akan berlaku selama puluhan bahkan ratusan tahun ke depan. Kekayaan alam Indonesia pun digadaikan, dijual, dirampok, dan dibawa kabur ke negara-negara pro zionis, tanpa menyejahterakan rakyat Indonesia. Menurut pengamat sejarawan dari LIPI, Dr Asvi Marwan Adam, Indonesia seakan-akan membalas budi kepada Amerika Serika yang telah membantu menghancurkan komunis.
Freeport yang hampir bangkrut pun menjadi perusahaan yang sangat disegani dan dilirik dunia ketika bisa mengelola pertambangan di Irian Barat. Hal ini tidak lain karena campur tangan CIA didalamnya, dilihat dari Freeport yang menggandeng Bechtel dalam membangun konstruksi pertambangan emasnya. Bechtel merupakan perusahaan AS yang banyak mempekerjakan pentolan CIA. Hal ini terlihat dari, Mantan Direktur CIA Richards Helms bekerja sebagai konsultan Internasional di tahun 1978, dan adanya saham Direktur CIA John McCone di Bechtel.
Freeport juga menggandeng McMoran milik Jim Bob Moffet dan menjadi perusahaan raksasa dunia dengan laba lebih dari 1,5 miliar dollar AS pertahun. Semakin sejahteranya Freeport tergambarkan dalam tulisan seorang eksekutif Freeport-McMoran, George A. Maley dalam buku "Garsberg" yang memaparkan tambang emas di Irian Barat itu memiliki deposit terbesar di dunia, sedangkan untuk biji tembaganya menempati urutan ketiga terbesar di dunia. Di tahun 1995, Maley menyebutkan bahwa areal ini memiliki cadangan tembaga sebesar 40,3 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan untuk 45 tahun ke depan. Bahkan, Maley dengan bangganya menulis biaya produksi tambang emas dan tembaga terbesar di dunia yang ada di Irian Barat itu merupakan yang termurah di dunia.
Setelah menguras kekayaan alam di bumi Papua, Freeport sepertinya melupakan etika untuk menjaga lingkungan alam Bumi Papua. Menurut Penelitian Greenpeace, Operasi Freeport McMoran di Papua telah membuang lebih dari 200.000 ton tailing (limbah) perharinya ke sungai Otomina dan Aikwa, yang kemudian mengalir ke laut Arafura. Dari data Greenpeace, di tahun 2006 lalu saja diperkirakan sudah membuang hingga tiga miliar ton tailing yang sebagian besar berakhir di lautan. Hal ini yang menyebabkan sedimentasi laut dan terus mengancam masa depan lautan Indonesia.
Limbah Freeport menuju Laut Arafura |
Sumber Referensi:
http://www1.american.edu/ted/irian.htm
http://www.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/533771/Laut%20Indonesia%20dalam%20Krisis.pdf
https://indocropcircles.wordpress.com/2013/05/29/bongkar-konspirasi-antara-sukarno-suharto-dan-freeport/
0 comments:
Post a Comment