Sejarah Panjang Terbentuknya Kesatuan Bhayangkara
Nama Polisi berawal dari sebuah istilah yang dibawa oleh orang-orang Eropa ketika melakukan kolonialisasi di Indonesia, Belanda menyebut sebuah profesi yang tugas pokoknya menjaga keamanan lingkungan sekitar dengan Politie, Jerman menyebutnya Polizei, orang Inggris menyebutnya Police, sementara Spanyol dan Portugis mengenalnya dengan Policia. Memang dalam hal penyebutan namanya berbeda-beda, tetapi pada dasarnya pekerjaan atau tugas pokok polisi yang ada di negara-negara tersebut sama, yaitu melakukan tugas penjagaan, pengaturan, pengawalan, dan patroli, yang fungsinya untuk melindungi, mengayomi, melayani dan menegakkan hukum yang telah ditetapkan oleh Negaranya. Tugas dan Fungsi tersebut sudah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia dengan fungsi untuk menegakkan hukum dan peraturan yang telah ditetapkan oleh Raja.
Zaman Pra Kolonial
Menurut Kitab Pararotan, yang
menceritakan tentang kerajaan Singosari tahun 1222 – 1392, di kitab tersebut tercantum bahwa pada zaman Kerajaan
Singasari itu tugas penjagaan, pengaturan, pengawalan, dan patroli guna
mengayomi, melindungi, melayani dan penegakan hukum diserahkan pada alat
negara kerajaan yang disebut Bhayangkara, diceritakan dalam Pupuh IX
Pararotan “sehubungan dengan wafatnya Tohjaya di Katang Lambang
(sekarang Pasuruan) pasukan yang berkewajiban menjaga keamanan Keraton
adalah pasukan Bhayangkara. Istilah Bhayangkara itu dikemudian hari
diadopsi oleh Polri sebagai alat negara penegak hukum Negara Republik
Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Kerajaan Singasari runtuh pada
Tahun 1392 diteruskan dengan lahirnya Kerajaan Majapahit Tahun 1392 – 15, berdasarkan Kitab Negarakertagama yang aslinya disebut Desawarnana
atau Kitab Pustaka Raja yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Kerajaan
Majapahit adalah kerajaan yang berdasarkan atas hukum, dengan UUD
negara yang bernama Kitab Kutaramanawa Dharmasastra, seluruh sendi-sendi
kehidupan didasarkan pada Kitab tersebut yang kemudian dibagi lagi
sesuai bidang hukumnya antara lain bidang hukum pidana yang memakai
Kitab Astadusta yang dalam penegakan hukumnya diserahkan pada Pasukan
Bhayangkara, dituliskan pada zaman Raja Hayam Wuruk Raja telah menghukum
mati Demung Sora yang merupakan salah satu petinggi kerajaan Majapahit
karena bersalah telah membunuh Mahesa Anabrang berdasarkan Kitab
Astadusta yang dilaksanakan oleh Kesatuan Bhayangkara.
Sehingga nama Kesatuan Bhayangkara
yang bertugas untuk melakukan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan
patroli guna melindungi, mengayomi, melayani dan menegakan hukum
masyarakat dan negara sudah ada sejak zaman kerajaan Singosari dan
kerajaan Majapahit yang dalam pelaksanaan tugasnya sangat mumpuni dan
terkenal tegas, berani, jujur dalam menegakan hukum dan loyal pada Raja
sehingga Kesatuan Bhayangkara pada jaman kerajaan Majapahit yang
dipimpin oleh Gajahmada dapat menghantarkan Kerajaan Majapahit kepuncak
kejayaan negara yang sampai saat ini masih kita banggakan dan kita
agung-agungkan. Negara Kesatuan Republik Indonesia mengharapkan sifat
para kesatria Bhayangkara Majapahit itu dapat diwujudkan dalam negara
Indonesia sehingga sebutan Bhayangkara tersebut disematkan pada Polri
sebagai alat negara penegak hukum.
Kepolisian Pada Era Kolonial
Negara Kepulauan terbesar yang menjadi daerah perlintasan dan sangat strategis seperti Indonesia menjadi daerah yang sangat diperebutkan. Bangsa Portugis yang pertama kali bersandar di Indonesia, dengan tujuan untuk mencari rempah-rempah. Kekayaan Indonesia akan rempah-rempah tercium hingga negeri Belanda, maka dari itu setelah bangsa Portugis, mendaratlah bangsa Belanda di Nusantara dengan dukungan kapal-kapal dilengkapi persenjataan yang kuta serta mendirikan benteng-benteng di Jawa.
Kepolisian di Masa VOC
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan VOC di Nusantara-Indonesia adalah berdagang, oleh karena
berselisih dengan Inggris di Indonesia maka Gubernur Jenderal VOC “Jan Pieterszoon Coen” membentuk Kepolisian di Batavia dan sekitarnya.
Zaman Hindia Belanda
Kepolisian pada zaman Hindia Belanda tentu difungsikan untuk kepentingan
pemerintah kolonial. Sampai jatuhnya Hindia Belanda, kepolisian tidak
pernah sepenuhnya di bawah Departemen Dalam Negeri. Di Departemen Dalam
Negeri memang berkantor "Hoofd van de Dienst der Algemene Politie" yang
hanya bertugas di bidang administrasi/pembinaan, seperti kepegawaian,
pendidikan SPN (Sekolah Polisi Negeri di Sukabumi), dan perlengkapan
kepolisian.
Wewenang operasional kepolisian ada pada residen yang dibantu asisten residen. Rechts politie dipertanggungjawabkan pada procureur generaal (jaksa agung). Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti veld politie (polisi lapangan) , stands politie (polisi kota), cultur politie (polisi pertanian), bestuurs politie (polisi pamong praja), dan lain-lain.
Sejalan dengan administrasi negara waktu itu, kepolisian juga
diterapkan pembedaan jabatan bagi bangsa Belanda dan pribumi. Pada
dasarnya pribumi tidak diperkenankan menjabat hood agent
(bintara), inspekteur van politie, dan commisaris van politie. Pribumi selama menjadi polisi hanya boleh menjabat sebagai mantri
polisi, asisten wedana, dan wedana polisi. Demikian pula dalam praktek
peradilan pidana terdapat perbedaan kandgerecht dan raad van justitie.
Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, banyak anggota kepolisian bangsa Indonesia menggantikan
kedudukan dan kepangkatan bagi bangsa Belanda sebelumnya, karena Pemerintah Jepang mengizinkan Kepala Polisi dijabat oleh Pribumi walaupun tetap didampingi pejabat Jepang. Pusat
kepolisian di Jakarta dinamakan keisatsu bu dan kepalanya disebut keisatsu elucho.
Kepolisian untuk Jawa dan Madura juga berkedudukan di Jakarta, untuk
Sumatera berkedudukan di Bukittinggi, Indonesia bagian timur
berkedudukan di Makassar, dan Kalimantan berkedudukan di Banjarmasin.
Tiap-tiap kantor polisi di daerah meskipun dikepalai oleh seorang
pejabat kepolisian bangsa Indonesia, tapi selalu didampingi oleh pejabat
Jepang yang disebut sidookaan yang dalam praktek lebih berkuasa dari kepala polisi.
Beda dengan zaman Hindia Belanda yang menganut HIR, pada akhir masa
pendudukan Jepang yang berwenang menyidik hanya polisi dan polisi juga
memimpin organisasi yang disebut keibodan (semacam hansip/relawan ketertiban dan keamanan).
Zaman Revolusi Fisik
Tidak lama setelah Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu,
pemerintah militer Jepang membubarkan Peta dan Gyu-Gun, sedangkan polisi
tetap bertugas, termasuk waktu Soekarno-Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Secara resmi
kepolisian menjadi Kepolisian Indonesia yang merdeka.
Jenderal Pol SoekantoTjokrodiatmojo (Kepala Kepolisian RI Pertama) |
Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan
Polisi di Surabaya, pada tanggal 21 Agustus 1945 memproklamasikan
kedudukan polisi sebagai Polisi Republik Indonesia menyusul dibentuknya
Badan Kepolisian Negara (BKN) oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Pada 29 September 1945
Presiden RI melantik Kepala Kepolisian RI (Kapolri) pertama Jenderal Polisi R.S. Soekanto. Adapun ikrar Polisi Istimewa tersebut berbunyi:
“Oentoek bersatoe dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan
Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menyatakan Poelisi Istimewa
sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.”
Kepolisian Pasca Proklamasi
Setelah proklamasi, tentunya tidak mungkin mengganti peraturan
perundang-undangan, karena masih diberlakukan peraturan
perundang-undangan Hindia Belanda, termasuk mengenai kepolisian, seperti
tercantum dalam peraturan peralihan UUD 1945.
Tanggal 1 Juli 1946 dengan Ketetapan Pemerintah No. 11/SD/1946 dibentuk
Djawatan Kepolisian Negara yang bertanggung jawab langsung kepada
perdana menteri. Semua fungsi kepolisian disatukan dalam Jawatan
Kepolisian Negara yang memimpin kepolisian di seluruh tanah air. Dengan
demikian lahirlah Kepolisian Nasional Indonesia yang sampai hari ini
diperingati sebagai Hari Bhayangkara.
Hal yang menarik, saat pembentukan Kepolisian Negara tahun 1946 adalah
jumlah anggota Polri sudah mencapai 31.620 personel, sedang jumlah
penduduk saat itu belum mencapai 60 juta jiwa. Dengan demikian “police
population ratio” waktu itu sudah 1:500. (Pada 2001, dengan jumlah
penduduk 210 juta jiwa, jumlah polisi hanya 170 ribu personel, atau
1:1.300)
Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan maka
Polri di samping bertugas sebagai penegak hukum juga ikut bertempur di
seluruh wilayah RI. Polri menyatakan dirinya “combatant” yang tidak
tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa diganti menjadi Mobile
Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti
dikenal dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera
Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI di Madiun, dan
lain-lain.
Pada masa kabinet presidential, pada tanggal 4 Februari 1948
dikeluarkan Tap Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri
dipimpin langsung oleh presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai
perdana menteri/wakil perdana menteri.
Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto telah
mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI. Pada
Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara
berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar
Said (tanggal 22 Desember 148).
Zaman RIS
Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk
Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai
Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai
Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta.
Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan
Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah
perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal
administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.
Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada
tanggal 17 Agustus 1950, pada tanggal 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden
RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian
disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut
disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di
bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif,
organisatoris.
Zaman Demokrasi Parlementer
Dengan dibentuknya negara kesatuan pada 17 Agustus 1950 dan
diberlakukannya UUDS 1950 yang menganut sistem parlementer, Kepala
Kepolisian Negara tetap dijabat R.S. Soekanto yang bertanggung jawab
kepada perdana menteri/presiden.
Waktu kedudukan Polri kembali ke Jakarta, karena belum ada kantor
digunakan bekas kantor Hoofd van de Dienst der Algemene Politie di
Gedung Departemen Dalam Negeri. Kemudian R.S. Soekanto merencanakan
kantor sendiri di Jalan Trunojoyo 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
dengan sebutan Markas Besar Djawatan Kepolisian Negara RI (DKN) yang
menjadi Markas Besar Kepolisian sampai sekarang. Ketika itu menjadi
gedung perkantoran termegah setelah Istana Negara.
Sampai periode ini kepolisian berstatus tersendiri antara sipil dan
militer yang memiliki organisasi dan peraturan gaji tersendiri. Anggota
Polri terorganisir dalam Persatuan Pegawai Polisi Republik Indonesia
(P3RI) tidak ikut dalam Korpri, sedangkan bagi istri polisi semenjak
zaman revolusi sudah membentuk organisasi yang sampai sekarang dikenal
dengan nama Bhayangkari tidak ikut dalam Dharma Wanita ataupun Dharma
Pertiwi. Organisasi P3RI dan Bhayangkari ini memiliki ketua dan pengurus
secara demokratis dan pernah ikut Pemilu 1955 yang memenangkan kursi di
Konstituante dan Parlemen. Waktu itu semua gaji pegawai negeri berada
di bawah gaji angkatan perang, namun P3RI memperjuangkan perbaikan gaji
dan berhasil melahirkan Peraturan Gaji Polisi (PGPOL) di mana gaji Polri
relatif lebih baik dibanding dengan gaji pegawai negeri lainnya
(mengacu standar PBB).
Dalam periode demokrasi parlementer ini perdana menteri dan kabinet
berganti rata-rata kurang satu tahun. Polri yang otonom di bawah perdana
menteri membenahi organisasi dan administrasi serta membangun
laboratorium forensik, membangun Polisi Perairan (memiliki kapal polisi
berukuran 500 ton) dan juga membangun Polisi Udara serta mengirim
ratusan perwira Polri belajar ke luar negeri, terutama ke Amerika
Serikat.
Zaman Demokrasi Terpimpin
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, setelah kegagalan Konstituante,
Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya kemudian
banyak menyimpang dari UUD 1945. Jabatan Perdana Menteri (Alm. Ir.
Juanda) diganti dengan sebutan Menteri Pertama, Polri masih tetap di
bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959,
tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan
Menteri Negara ex-officio. Pada tanggal 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga
menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada
tanggal 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No.
1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi
Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai
ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).
Waktu Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri
dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan
keberatannya dengan alasan untuk menjaga profesionalisme kepolisian.
Pada tanggal 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah
menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karir
Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember
1959. Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri
atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960
sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut
Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan
dalam bidang keamanan nasional. Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No.
13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah
satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU.
Dengan Keppres No. 94/1962, Menteri Kapolri, Menteri/KASAD,
Menteri/KASAL, Menteri/KSAU, Menteri/Jaksa Agung, Menteri Urusan Veteran
dikoordinasikan oleh Wakil Menteri Pertama bidang pertahanan keamanan.
Dengan Keppres No. 134/1962 menteri diganti menjadi Menteri/Kepala Staf
Angkatan Kepolisian (Menkasak). Kemudian Sebutan Menkasak diganti lagi menjadi Menteri/Panglima
Angkatan Kepolisian (Menpangak) dan langsung bertanggung jawab kepada
presiden sebagai kepala pemerintahan negara. Dengan Keppres No. 290/1964
kedudukan, tugas, dan tanggung jawab Polri ditentukan sebagai berikut:
a. Alat Negara Penegak Hukum.
b. Koordinator Polsus.
c. Ikut serta dalam pertahanan.
d. Pembinaan Kamtibmas.
e. Kekaryaan.
f. Sebagai alat revolusi.
Berdasarkan Keppres No. 155/1965 tanggal 6 Juli 1965, pendidikan AKABRI
disamakan bagi Angkatan Perang dan Polri selama satu tahun di Magelang.
Sementara di tahun 1964 dan 1965, pengaruh PKI bertambah besar karena
politik NASAKOM Presiden Soekarno, dan PKI mulai menyusupi mempengaruhi
sebagian anggota ABRI dari keempat angkatan.
Zaman Orde Baru
Karena pengalaman yang pahit dari peristiwa G30S/PKI yang mencerminkan
tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI, maka untuk meningkatkan
integrasi ABRI, tahun 1967 dengan SK Presiden No. 132/1967 tanggal 24
Agustus 1967 ditetapkan Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bindang
Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian dari
organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU , dan AK yang
masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Jenderal
Soeharto sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.
Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan
Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Kemudian
ternyata betapa ketatnya integrasi ini yang dampaknya sangat menyulitkan
perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada tahun 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan
Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala
Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri.
Pergantian sebutan ini diresmikan pada tanggal 1 Juli 1969.
Pada HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1969 sebutan Panglima AD, AL, dan AU
diganti menjadi Kepala Staf Angkatan. Pada kesempatan tersebut anggota
AL dan AU memakai tanda TNI di kerah leher, sedangkan Polri memakai tanda
Pol. Maksudnya untuk menegaskan perbedaan antara Angkatan Perang dan
Polisi.
Zaman Reformasi
Adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan
Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie
yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan
fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk
sementara, waktu itu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan
Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI
dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis pemisahan
tidak berjalan efektif. Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18
Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan
TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No. VII/2000 yang
mengatur peran TNI dan Polri secara tegas.
Sementara itu, sebelum ketetapan-ketetapan tersebut di atas digulirkan,
pada HUT Bhayangkara 1 Juli 2000 dikeluarkan Keppres No. 89/2000 yang
melepaskan Polri dari Dephan dan menetapkan langsung Polri di bawah
presiden. Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai bahaya karena Kepolisian
akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, namun sesungguhnya ia masih
bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasinal) yang
merupakan lembaga independen. Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama
adalah perubahan paradigma pemolisian yang sesuai dengan paradigma baru
penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum
dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang
represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih
simpatik, ramah, dan familier.
Memberi peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam menyelesaikan
konfliknya sampai pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan
kuatnya pranata-pranata sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan
malu, perasaan bersalah, dan perasaan takut bila ia melakukan
penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh pada hukum secara alamiah.
Sumber Referensi:
https://www.polri.go.id/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kepolisian_Negara_Republik_Indonesia
http://www.wirasabha.web.id/sejarah-polri
http://mjeducation.com/sepotong-sejarah-kepolisian-dari-bhayangkara-hingga-polri/
0 comments:
Post a Comment