Ilustrasi gangster, Gangster squad by examiner.com |
Kehidupan Gangster di Indonesia memang sudah lama berkembang sejak zaman Orde baru. Hal ini membuktikan perkembangan gangster tidak terpengaruh dengan otoriternya pemerintah di masa orde baru, bahkan mengindikasikan adanya hubungan antara anggota geng, petinggi militer, dan pejabat pemerintahan di masa orde baru. Hal ini dilihat dari kelompok-kelompok yang terlahir di sekitar komplek atau barak militer bahkan komplek perumahaan pejabat di masa itu. Kelompok tersebut lahir karena adanya tameng (perlindungan) dari jabatan atau pangkat orang tua mereka. Bukan tidak mungkin mereka memanfaatkan fasilitas jabatan atau pangkat orang tua mereka, seperti menggunakan mobil dinas atau bahkan senjata untuk kepentingan kelompok mereka.
Ada berbagai macam geng yang terkenal dan paling ditakuti di masa lampau. Salah satunya Geng Berlan, sekelompok anak muda yang ayahnya adalah tentara KNIL berpangkat rendah, mereka berkumpul di kawasan Matraman yang dikenal dengan Barenlaan daerah ini melahirkan sekelompok pemuda yang disebut dengan Bearland Boys, atau disebut pula Berland Boys. Hal serupa dengan anak-anak dari tentara berpangkat menengah yang tinggal di asrama Jalan Siliwangi dekat dengan Lapangan Banteng menamakan dirinya sebagai Siliwangi Boys Club. Di Kebayoran terdapat geng yang dinamakan Radio Dalam Club (RDC) yang merupakan geng berbasis di kawasan kompleks angkatan laut.
Kawasan elit Menteng dan Kebayoran Baru juga mempunyai gengnya sendiri yang disebut dengan Legos (Lelaku Goyang Senggol). Anggota Legos secara terbuka melibatkan dirinya ke dalam politik. Anggotanya termasuk Mangara Siahaan, yang kemudian menjadi seorang politisi senior PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, ia menjadi seorang aktor film yang mumpuni, dengan berperan sebagai seorang bandit dan gangster di beberapa film. Yulius Usman, yang kemudian menjadi salah satu pengurus partai PUDI, sebuah partai kecil di akhir periode Orde Baru. Juga bergabung dengan para anggota Legos di Blok M. Meskipun ia menilak bahwa ia pernah menjadi anggota aktif di dalamnya. Anggota Legos lainnya adalah, Leo Tomasoa, yang menjadi salah satu tangan kanan komando operasi Ali Moertopo, dan kemudian menjadi politisi Golkar.
Sedangkan geng yang paling ditakuti pada waktu itu adalah Siliwangi Boys Club, yang bermarkas di kompleks Siliwangi Jakarta Pusat bisa dikatakan merupakan partai yang sangat disegani karena berbasis di kawasan tentara. Geng ini menjadi spesial karena dipimpin oleh Yapto Soerjosoemarno, yang kemudian menjadi seorang pemimpin Pemuda Pancasila, sebuah posisi yang digenggamnya lebih dari dua kali. Semua anggotanya merokok Dji Sam Soe, yang berlambang 2−3−4, dengan demikian geng ini dikenal pula sebagai geng 234−SC. Mereka sangat antusias terhadap gelombang komunikasi radio dimana masing-masing anggotanya mempunyai gelombang radio handie talkie. Geng ini kemudian dienyahkan oleh Try Sutrisno yang pada waktu itu memang tidak suka dengan geng-geng berlindung di bawah tentara.
Sedangkan berbagai geng lainnya berbasis pada afiliasi kedaerahan, seperti geng Ams, yakni geng orang-orang Ambon yang bertempat di bangunan sekolah medis kuno STOVIA. Pamors (Padang−Manado Organization) dan Sartana yang kebanyakan adalah orang-orang Manado yang mengontrol kawasan baru pertokoan Sarinah-Tanah Abang pada waktu itu. Geng-geng terakhir ini berbasis secara “etnis” karena banyak dari para anggotanya adalah para tokoh terkemuka ABRI pada waktu itu ditempatkan di beberapa kawasan daerah seperti Ambon, Padang dan Manado yang pada akhirnya mereka mengidentifikasi dirinya dengan daerah tersebut.
Adanya hubungan antara elite pemerintahan dengan geng tersebut, dapat dilihat ketika Ibu Tien Soeharto hendak mendirikan TMII (Taman Mini Indonesia Indah), di akhir tahun 1971, mendapatkan perlawanan keras dari para Mahasiswa. Untuk menentang kritik ini Ibu Tien berkata: “Terus terang, saya akan menantang mereka yang mengkritik, tidak perduli siapa mereka, siapapun yang menolak harus paham dengan mengerti peringatan ini, saya akan menantang mereka!”
Ancaman Ibu Tien ini disambut baik oleh para anggota geng Berlan. Pada tanggal 23 Desember 1971, sekelompk anak muda berambut gondrong menyerang para demonstran yang menentang proyek pembangunan TMII. Dalam keributan ini dua orang demonstran tertikam dan satu tertembak dipahanya dengan pistol kaliber 45. “Pada waktu itu kami juga berambut gondrong” kenang Asmara Nababan, salah satu demonstrator, namun ia menambahkan bahwa perbedaan fisik antara demonstrator dan penyerang sangatlah berbeda. Saksi mata mengungkapkan bahwa para penyerang tampak terlatih dan rambut panjang mereka tampak seperti wig. Geng Berlan Boys yang kemudian dipanggil ke pengadilan berdalih bahwa mereka menganggap bahwa para demonstrator tersebut tidak lain adalah geng lawan-lawan mereka seperti Sarana, Casanova, dan Siliwangi. Dengan demikian, anak-anak nakal tentara ini punya klaim yang kuat bahwa yang mereka serang adalah geng dari anak tentara di barak lainnya.
Mengingat banyak anak tentara yang menggunakan hak istimewa ayahnya, pada tanggal 15 Januari 1972, Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban, Soemitro memerintahkan “bubarkan mereka”. Soemitro mengisukan dan menginstruksikan untuk membubarkan kelompok geng dan anak muda dengan pertimbangan resmi berikut:
1) Belakangan ini khususnya di kota-kota besar telah muncul sekelompok anak muda yang menyebut dirinya seperti Berenlaan Gang, Gang Icstraat, Gang Sartana, dan seterusnya yang cenderung memiliki aktivitas seperti berkelahi/saling menyerang/membunuh/memperkosa/menyiksa/menggunakan narkotika dan perampokan serta tindakan tidak tepat lainnya.
2) Di samping itu, telah terbukti bahwa geng-geng ini digunakan oleh anti pembangunan “TMII” untuk menghasut kerusuhan yang menyebabkan banyak orang terluka dalam perkelahian antar geng kemudian para korbannya digunakan sebagai martir dalam mengisukan anti TMII demi menghasut emosi gerakan massa yang lebih luas.
Meski Ibu Tien telah memobilisasi geng Berlan untuk menyerang para penentangnya, dan dari kasus ini para geng mulai belajar untuk menjadi penyusup dan berbalik menjadi agitator di kalangan demonstran. Pada bulan Februari 1972, dalam sebuah seremoni di Dewan Provinsi Jakarta, 2 ribu pemuda menyerahkan logo-logo geng mereka dan berbagai peralatan lainnya kepada Kapolda DKI Jakarta, Widodo. Dalam pidato perwakilan, salah satu ketua geng waktu itu menyalahkan orang tua mereka; “Kita seperti seorang bayi yang baru lahir dan langsung terluka karena orang tua kami tidak memberi kami susu, melainkan mereka memberikan ‘pekerjaan’ lain”. Pada bulan Mei 1973, BAKIN, Badan Koordinasi Intelijen, menggembleng para mantan gangster ini dengan berbagai keahlian yang positif seperti perbengkelan. Kemudian mereka dihubungkan dengan para komando tentara, salah satunya adalah Prabowo Subianto yang pada tahun 1990-an mendirikan sebuah dealer motor di Timor Timur sebagai sebuah sumber mata pencaharian jaringan informannya.
Mengambil isyarat dari Soemitro, para komando lokal di daerah mulai untuk mengembangkan akses pula terhadap para mantan anggota geng dengan terlibat di berbagai kegiatan olahraga remaja. Di Ujung Pandang, komando daerah Kopkamtib menggabungkan sejumlah geng lokal ke kegiatan pecinta alam, balap motor, dan publikasi newsletter/laporan berkala yang waktu itu dinamai Semangat Baru, dan kemudian juga memberikan sumber modal dana kepada generasi muda ini. Di Jakarta, periode ini juga disebut dengan konsolidasi dan ekspansi TEKAB (Tim Khusus Ahli Bandit) langsung di bawah naungan Kapolda DKI Jakarta yang merekrut beberapa anggota geng termasuk Sartana dan Legos. Sedangkan kegiatan di kompleks geng Berlan adalah melakukan kegiatan bola voli dan berbagai acara tarian.
sumber:
Loren Ryter, 2011, Geng dan Negara Orde Baru http://etnohistori.org/geng-dan-negara-orde-baru-2-habis-preman-pembela-orde-baru.html
0 comments:
Post a Comment